Colenak Murdi Putra Jadi Cemilan di KAA

Rabu, 15 April 2015 - 15:18 WIB
Colenak Murdi Putra...
Colenak Murdi Putra Jadi Cemilan di KAA
A A A
BANDUNG - Bagi pencinta kuliner di Jawa Barat pada umumnya, dan Bandung khususnya, nama Colenak bukanlah sesuatu yang asing. Kuliner yang terbuat dari adonan tape singkong (peyeum) dicampur dengan gula kelapa (kinca) itu, sudah cukup akrab dengan penikmat makanan khas Sunda.

Dalam perjalanan sejarahnya, makanan tempo dulu itu, bahkan pernah menjadi hidangan para tamu kehormatan, yakni kepala negara peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA), pada 1955 silam. Adalah colenak buatan Murdi Putra, yang menjadi hidangan ringan bagi tamu undangan tersebut.

Penamaan Colenak untuk nama makanan itu sendiri, konon bukan berasal dari Murdi, selaku produsen. Adalah para pelanggan setia Murdi yang kerap datang ke warungnya, di Jalan Jend. Ahmad Yani No. 733, yang memberi nama makanan itu, hingga akhirnya dikenal dengan nama Colenak hingga sekarang.

Penamaan Colenak sendiri, sebenarnya terinspirasi dari cara memakannya, yakni dengan cara mencocolkan peyeum ke kinca. “Para Aom (kaum ningrat) yang melanggan itu lah yang memberikan nama colenak untuk panganan itu,” kata penulis buku Di Balik Layar Warna-warni KAA 1955, Sulhan Syafii.

Murdi sendiri, dengan dibantu oleh keluarga dan tetangga sudah mulai membuat colenak sejak 1930 silam. Dalam perjalanan kariernya membuat Colenak, era 1955, adalah masa yang paling bersejarah bagi keberadaan Colenak Murdi.

“Selama KAA, Colenak Murdi Putra selalu hadir, terutama di malam resepsi tanggal 18 April 1955 di gedung Pakuan dan acara perpisahan pada 24 April di Hotel Savoy Homann,” jelas dia.

Keberadaan Colenak Murdi Putra, ternyata tidak hanya berlangsung pada masa Pak Murdi hidup saja. Setelah Pak Murdi meninggal pada 1966 pun, keberlangsungan Colenak tersebut tetap bertahan dan dilanjutkan oleh anaknya, Hj. Sopiah.

Pada saat Colenak berada di tangan generasi ke-2, terdapat beberapa perbedaan yang dilakukan oleh Hj. Sopiah. Namun, perbedaan tersebut tidak sampai mengurangi cita rasa dari Colenak yang akhirnya dinamakan Colenak Murdi Putra itu.

“Pada masa ibu (Hj. Sopiah), ada beberapa perbedaan, diantaranya kalau dulu zaman kakek dibuatnya itu di depan warung, pas zaman ibu, pindah di belakang warung. Ini karena kondisi di sini yang sudah mulai ramai, sehingga ditakutkan asap yang keluar saat membuat Colenak menggangu dan bikin kotor,” kata generasi ke-3 pengelola warung Colenak Murdi Putra, Bety Nuraety kepada Sindonews, di sela-sela aktivitasnya menjaga toko Colenak Murdi Putra.

Perbedaan juga terjadi pada varian rasa Colenak itu sendiri. Jika pada masa Murdi hanya ada satu rasa, yakni original, maka di tangan generasi ke-2, Colenak Murdi Putra memiliki tiga rasa, yakni Original, Nangka dan Durian.

Namun demikian, dari ke tiga rasa itu, rasa Original dinilai paling banyak diminati oleh pencinta Colenak. Selain ke dua hal tersebut, tidak ada perbedaan yang berarti dialami oleh Colenak Murdi Putra. Bahkan, untuk peyeum, yang menjadi bahan baku Colenak pun, diperoleh dari orang yang sama dengan saat masa Murdi.

“Sekarang ini, di sini (Colenak Murdi Putra) Saya teh generasi yang ketiga. Dan untuk peyeum sendiri, diambil dari generasi ke-tiga dari zaman Kakek juga. Di sini cucu, di Cimenyan (daerah asal Peyeum) juga cucu,” ungkap Bety.

Jika pada masa Murdi, Colenak Murdi Putra pernah dinikmati oleh kepala negara dalam acara KAA, maka pada masa generasi ketiga, sejumlah artis papan atas, pernah singgah untuk menikmati kuliner yang saat ini dibanderol dengan harga Rp9.000 itu.

Nama-nama seperti Armand Maulana, Roy Marteen, adalah contoh kecil artis yang pernah mencicipi colenak yang disebut-sebut sebagai colenak pertama kali itu.

Selain artis, sejumlah pesepakbola tanah air pun, khususnya yang pernah membela Persib Bandung, pernah ikut mencicipi juga.

“Adapun untuk pejabat, sekarang ini kami sering menerima pesanan ketika ada acara-acara di instansi pemerintahan di sini, entah itu Pemkot maupun Pemprov. Dan saat peresmian Trans Studio Bandung (TSB) oleh Bapak SBY, mereka juga memesan (colenak),” jelas dia.

Bergantinya generasi yang mengelola Colenak Murdi Putra, hingga ke genersi ketiga, ternyata tidak membuat pecinta colenak dari kalangan tua, berpaling. Mereka tetap sewaktu-waktu datang untuk menikmati sekaligus mengulang masa-masa dulu.

“Kalau yang sudah langganan dari generasi ibu dulu, mereka suka minta dibungkus dengan daun pisang, seperti dulu mereka nikmati. Tapi tetap, kami penuhi permintaan itu. Seperti halnya ada penambahan rasa selain original, itu juga berawal dari permintaan konsumen,” ungkap dia.

“Dulu itu, bungkusnya pakai daun pisang, terus kertas, dan plastik. Sekarang daun pisang diganti dengan kertas nasi. Karena sekarang ini, harga daun pisang lebih mahal dari pada kertas nasi, dan juga sulit dicarinya,” lanjut dia.

Setelah berjalan sekitar 84 tahun, dalam beberapa hal terlihat tidak ada perubahan. Untuk jam oprasi sendiri, sama persis dengan masa Murdi, yakni dari pukul 07.00-18.00 WIB. “Kalau bangunan mah, sudah berubah. Sekarang lebih kekinian,” jelas Bety.
(nfl)
Copyright ©2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1022 seconds (0.1#10.24)